Setiap anak pasti punya cita-cita dan impian besar dalam hidupnya, begitu juga aku. Sebagai seorang anak petani, yang masa kecilnya tentu saja diwarnai dengan keseharian bertani, aku tentu saja mengalami dan melihat banyak hal. Pergi sekolah dari ladang, digendong bapak pakai landong, gara-gara takut aku terlambat dengan langkahku yang lambat dan yang selalu tidak fokus karna bermain-main dengan lalang yang sering menoreh goresan tato dikulit.😂
Waktu beranjak SMA, sejarah selalu mempelajari tentang pertanian, Indonesia dengan rempah-rempahnya, bangsa eropa dan banyak lagi bangsa asing berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk rempah-rempah, aku sampai capek ngapalin nama-nama mereka yang asing banget ditelinga dan susah banget disebut. Belum lagi jaman belum merdeka, semua yang terjadi dimasa lalu karna menginginkan hasil
pertanian. Dan hal yang membuatku tercengang ketika pada masa orde baru, ternyata Indonesia pernah menjadi pengekspor beras terbesar didunia dan mencapai swasembada beras. Selain itu, dulu waktu sekolah terngiang-ngiang ditelinga bahwa Indonesia adalah Negara Agraris.
Tentu saja, wawasanku masih sangat sempit waktu itu, aku juga termasuk anak yang sedang-sedang saja, tidak begitu hebat dalam hal belajar haha. Tetapi ketertarikan ku dalam hal pertanian memang tidak bisa dipungkiri. Teman2 dekatku pasti tau, bahwa aku dengan percaya dirinya mengatakan aku ingin jadi sosok yang kelak merintis kampung halaman ku untuk swasembada beras. Haha dan lucunya, ternyata ada diatara mereka yg mendengar itu masih mengingatnya sampai sekarang. "Lin, cita-cita kau masih sama?" "apa cita-cita ku?" "Loh bukannya dulu kau bilang mau jadi pelopor swasembada pangan dikampung kau?" haha. Aku sempat kaget kok dia ingat. Sejujurnya aku masih mengingat itu, dan tetap mengingat itu, hanya aku sadar aku belum mampu dan belum merasa pantas untuk itu, masih banyak yang harus ku lihat dan ku pelajari, dari sebabnya, akibatnya, tantangannya, faktor-faktor lainnya. Aku cuma seonggok daging yang berjuang untuk hidup dan juga mencoba perlahan melangkah bertahap untuk meraih cita-cita. Tentu saja aku tidak bisa apa2 jika hanya sendiri.
Ketertarikan ku terhadap Pertanian berlanjut hingga akhirnya aku lulus di Fakultas Pertanian. Makin lama aku makin banyak menyadari, banyak hal yang bertentangan dari yang kupelajari dengan apa yang menjadi kebiasaan yang dilakukan petani pada umumnya dikampung ku. Terutama kedua orang tua ku sendiri. Berladang misal, bercocok tanam dilahan kering jauh rendah produksinya dibanding sawah, tentu saja. Disana lahan pertaniannya berbukit. Mesin pertanian susah masuk karna akses dari kabupaten sangat jauh dan hanya bisa melalui sungai, baru baru ini sudah ada jalan darat namun masih sangat sulit untuk dilalui. Dari sisi ekonomi, dari analisis kelayakan usaha. Berladang sangat tidak menguntungkan, bukan hanya tidak menguntungkan, tetapi justru merugi. Tetapi kenapa petani masih melakukannya berulang selama bertahun-tahun???😓
Aku mulai iseng bertanya ke bapak : "Pak, ngapa bah kian mau beladang, sedangkan kalau dihitung biaya buka lahan, biaya nugal, biaya merumput, biaya mupuk, biaya panen, biaya giling dan biaya lain-lain itu jauh lebih mahal dibandingkan bapak beli dipasar. Bapak bisa beli untuk stok bertahun-tahun, tanpa harus capek dan banyak keluar uang". Ekspresi bapak mulai berubah 🤨 "Itulah kian anak sekarang tu, ndak ngerti! Ini tradisi kita, kalau bukan kita menjalankan siapa lagi? Nugal? Ngapa harus rugi ngasi orang banyak makan? Dari saat nugal itulah kita bisa ngumpul sekampung sama semua keluarga kita, gotong royong, ketawa begurau cerita apa segala. Bekumus pulang hitam-hitam kan, mana ada lagi jaman sekarang. Semua senang kumpul sama-sama. Selain ekonomi, sosial budaya juga penting apalagi jaman sekarang ni yang semuanya serba dari hp, berladanglah satu-satunya cara kita bisa kembali ke kebiasaan kita dulu".
Sontak waktu itu aku merasa seperti tertampar oleh kalimat bapak, aku jadi tertegun dan tidak bisa berkata-kata lagi. Aku jadi merasa tidak mengetahui apa-apa dan malu. Tetapi setelah itu, aku jadi makin bersemangat menetapkan langkahku tentang pertanian, selain untuk meningkatkan kesejahteraan petani dari kebiasaan yang belum tepat, disana juga banyak nilai sosial dan budayanya. Itulah kenapa aku nekad mengambil judul skripsiku tentang "Analisis Ketahanan Pangan Keluarga di Kecamatan Ambalau" aku nekad ambil lokasi penelitian ku dikampung yang secara logikanya aku akan butuh waktu dan biaya untuk menyelesaikannya. Benar saja, bahkan saat penelitian, aku sempat karam di sebuah riam ketika mudik menuju lokasi penelitian. Puji Tuhan kami semua selamat, hanya barang2 ku saja yang basah seperti Kuisioner ku sehingga aku harus balik lagi ke kecamatan untuk print ulang.
Ketika melakukan penelitian, menyedihkan memang, petani memang masih jauh dari kata sejahtera, masih banyak yg kesusahan untuk makan, padahal mereka punya lahan. Keterbatasan pengetahuan, berujung ke kendala ekonomi. Banyak sekali permasalahannya jika diuraikan. Ini masih menjadi PR besar dalam hidupku, bagaimana aku bisa berkontribusi setelah melihat sendiri faktanya disana.
Tidak ada yang salah, atau benar dalam hal ini. Semuanya adalah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi. Beda petani beda pemahaman, beda orang beda sifat dan kebiasaan. Begitu juga dengan pemerintah, mereka sudah mengupayakan banyak program, namun keterbatasan tidak bisa dipungkiri. Oleh karna itu, alangkah lebih baik kalau kita semua sama-sama membangun satu sama lain. Dari hal kecil saja, ketika melihat tetangga kesusahan, bolehlah kita yang tau beri sedikit contoh dan pemahaman supaya tetangga tersebut menjadi tau dan mendapat sedikit perubahan. Tidak melulu seperti cita-cita ku tadi yang terlalu ketinggian haha 😅 Cukup dimulai dari tetangga saja dulu misalnya, itu sudah bagian dari pembagunan walaupun skala kecil.
Untuk sesama anak muda yang masih berjuang melakukan perubahan menuju pembangunan, diremehkan itu biasa, dianggap terlalu berambisi biar saja, dihina belum jadi apa2 atau dicap terlalu percaya diri juga nga masalah. Ingat, tujuan kita adalah membawa perubahan lebih baik, bukan untuk mendapat pujian dianggap baik. Tantangan itu adalah tangga buat kita. Tujuan adalah pegangan kita. Badai pasti berlalu, hujan pasti berhenti, pelangi selalu akhirnya menghiasi. Tetap semangat! Mari terus berkarya! - LW